Perlahan ku buka kedua mataku, rintik hujan mengawali dengan nanyian di
telinga. Terasa tak ingin ku beranjak pergi dari sini, dari tempat tidur ku
yang membuatku sangat nyaman. Ingin rasa ku terus bermimpi, aku takut jika
harus menerima yang lebih pahit setelah aku kehilangan seseorang yang sangat ku
cintai. Ku lihat jam di dinding tepat menunjukan pukul 7 pagi. “ahhh astaga aku
telat yaampuuun”. Teriakku dan langsung aku bergegas untuk berangkat kemah di
sekolahku.
Dengan nafas yang masih
tersengah-sengah dan tak beraturan aku segera masuk ke bus dan duduk dengan
sahabat terbaikku. “duh nay, yaampun aku lupa kalau hari ini kita kemah, bagus
aku sudah mempersiapkan yang harus dibawa”. Aku pun mengawali percakapan kami
dengan nafas yang masih tidak beraturan. “astii, lagian kamu, makanya sony kamu aktifin dong supaya aku bisa
mengingatkan kamu tii”. Jawab naya dengan nada emosi. “hehehe, maaf ya nayaaa
kuu, maklum sajalah factor jomblo jadi males buat megang handphone habisnya kalau aku megang handphone juga sepih sih jadinya yaa mending aku letakin di tas
aja”. Balasku dengan sedikit bergurau.
Sepanjang perjalanan kami terus bercanda ria begitu pula dengan seluruh teman-teman
dan pembimbing acara di bus ini. aku pun menjadi mengenang awal persahabatan
aku dengan naya. Aku bertemu naya sewaktu acara perpisahan SMP kami, kami satu
SMP tetapi ntah mengapa kami tidak saling mengenal, ketika mentari muncul di
ufuk timur aku melihat seorang yang sedang duduk menunggu lahirnya mentari saat
ku sapa ternyata namanya adalah Naya Septiana. Dia hijabers berfaras cantik
dengan kulit kuning langsat, dia juga wanita periang tiada hari tanpa suara
tawanya yang manis. Banyak pria yang mengidolakannya dan berharap menjadi
kekasihnya, akan tetapi dia selalu menolak, dengan alasan ingin menemani aku
jomblo-_-
Tak terasa kami telah sampai di tempat perkemahan, aku dan naya beserta
4 orang teman kelompok kami lainnya, mendirikan tenda dan membereskan
perlengkapan kami. Setelah selesai, kami pun mengikuti semua rangkaian kegiatan
acara perkemahan, ini membuat kami sangat lelah. Sampai pada saat yang kami
tunggu-tunggu adalah api ungun. Aku dan naya sangat menunggu moment ini, karena
ini acara yang bisa buat kita nyantai dan melepas beban.
Mengelilingi api, kami dan semua yang ikut kemah bernyanyi bersama,
malam ini hanyut dengan kemesraan diantara kami, yaaah siapa bilang jomblo
nggak bisa mesra-mesraan yakan hahaha. Kami lewati malam ini sampai mentari
ingin terlahir kembali dari ufuk timur. “Tii, temenin aku disini ya, aku ingin
melihat mentari baru”. Tegurnya dengan nada yang lembut. “Nay, kenapa deh kamu
senang banget liat mentari lahir?” tanyaku dengan penuh rasa penasaran. “aku
selalu ingin melihat langsung mentari baru yang terlahir, aku ingin seperti
mentari tii, yang kehadirannya sangat dinanti banyak orang dan sangat
dibutuhkan”. Jawabnya dengan penuh senyum.
Aku yang menemani naya menunggu mentari dari ufuk timur dengan penuh
keheningan, tiba-tiba terkejut, tepat ketika mentari memancarkan sinar
pertamanya di ufuk timur itu, Naya jatuh lemas dan tidak sadarkan diri. Aku
bingung dan dengan paniknya aku berteriak membangunkan seluruh yang mengikuti
perkemahan ini.
Akhirnya Naya dilarikan ke rumah sakit terdekat dari tempat kemah,
pembimbing kemah pun langsung memberitahu keluarga Naya, keluarga Naya langsung
datang ke rumah sakit. Kini aku dan orangtua Naya hanya bisa menangis dan
berharap agar Naya kembali pulih. “Tuhan, dia sahabat ku satu-satunya, sahabat
yang tegar, dan sahabat yang paling mengerti aku. Tolong tuhan selamatkan dia,
apabila beban nya dapat dibagi, aku besedia untuk diberi beban dia”. Pinta ku
dalam hati.
Tak lama kemudian, dokter yang menanggani Bila keluar dengan wajah yang
penuh penyesalan. “dokter, bagaimana keadaan anak saya??” dengan penuh emosi,
rasa panik dan penuh air mata, orangtua Bila langsung bertanya kepada dokter.
Lalu dokter menjelaskan kondisi Bila yang sudah tak dapat tertolong lagi karena
penyakit yang diderita Bila sejak lama. Dokter dan pihak rumah sakit tidak
dapat lagi berbuat lebih, hanya campur tangan Tuhanlah yang dapat menolong Bila
sahabat terbaikku yang sudah terbaring lemah tak berdaya.
Aku tak dapat menahan derai tangisku, air mataku deras membasahi pipiku,
“Nay, kamu sahabat yang paling mengerti aku, kamu yang mampu melukiskan senyum
dalam duka ku, kamu yang selalu mengajariku ketegaran, kamu yang menjadi
sandaranku ketika aku ingin terjatuh..” gumam ku dalam hati.
Melihat kondisi Naya yang semakin memburuk, dokter berkata bahwa harus
merelakan Naya, jikalau ada keajaiban yang membuat Naya kembali, pasti Naya
akan mengalami sakit yang luar bisa.
Siang ini diguyur dengan hujan deras, mentari kelahirannya dinanti oleh
Naya bersembunyi ntah kemana, seolah langitpun menangisi keadaan Naya sahabatku
yang paling berharga.
“Tuhan, jika kau lebih sayang pada Naya dari pada aku, jika ini lebih
baik untuk Naya. Aku rela Tuhan kau ambil Naya dari ku. Jika hanya dengan cara
ini Naya dapat kembali tersenyum, walaupun ini sungguh berat untuk asti
kehilangan sahabat sejatiku yang selalu menghapus air mataku dan menggantinya
dengan senyuman. silahkan ambil Naya Tuhan, asti relaa, tapi jangan siksa Naya
lagii dengan menahan sakitnya seorang diri”. Gumamku dalam hati dengan cucuran
air mata.
Detik demi detik berlalu penuh dengan ketegangan dan air mata. Tepat
pada terbenamnya mentari di ufuk barat, Naya menghembuskan nafas terakhirnya.
Rumah sakit ini berconcang dengan tangisan aku, orangtua Naya. Naya kini telah
benar-benar pergi, Naya pergi untuk selama-lamanya dengan senyuman manis yang
masih menghiasi pipinya.
Hari ini, ketika mentari akan terlahir kembali, kami telah mempersiapkan
mu untuk kami antar ke tempat terakhirmu. Tempat dimana kamu bisa dengan tenang
tanpa rasa sakit sedikitpun untuk terus menjadi Naya yang aku kenal dengan
ketulusan hatinya.
Naya Septiana, sekarang nama itu hanya dapat aku lihat di nisan mu,
bukan lagi di seluruh cover buku seseorang yang selalu menemaniku.
Sampai pada mentari terbenam di ufuk barat, kini harus aku terima
kenyataan, aku telah kehilangan kamu Nay, sahabat yang selalu mewarnai
hari-hariku. Sahabat yang selalu tersenyum diatas rasa sakit yang tak pernah
kau keluhkan.
Kini, aku selalu melihat lahirnya mentari baru dari ufuk timur, karena
aku yakin kau pun kembali meski hanya di bayangan sebuah sinar ntah yang mana. Dan
ketika itu pula aku tersenyum dengan memanggil namamu.